Romantis itu tidak selalu melulu tentang makan malam di sebuah resto atau diberi bunga sambil berlutut dengan ucapan cinta. Romantis itu sebenarnya bermacam-macam. Tidak bisa didefinisikan sebagai satu barisan kalimat yang sama. Kenapa? karena kami percaya bahwa romantisnya setiap pasangan itu berbeda-beda. Senyuman yang berbeda, momen yang berbeda, rasa yang berbeda, dan kenangan yang berbeda.
Entah karena pengaruh terlalu sering melihat film drama Korea atau apa, sampai sekarang akhirnya aku tidak juga memiliki kekasih. Padahal, teman-temanku setiap hari sudah diantar jemput oleh pacarnya sendiri-sendiri. Iri? Hmm... mungkin iya. Tetapi, aku sebisa mungkin tidak memperlihatkan pada mereka. Oleh karena itu, aku jadi sok-sokan kuat dan seringkali berdandan seadanya. Casual, ala pria.
Dan mungkin itu juga yang bikin nyaris tak ada pria yang naksir aku ya?
Hari itu aku sendirian lagi. Dan kuputuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah. Entah deh ke mana kaki ini melangkah aku jalani saja. Tiba-tiba aku justru duduk melihat Armin yang tengah berlatih basket bersama teman-temannya.
Armin adalah sahabatku sedari SMP. Sampai duduk di bangku kuliah, kami selalu bersama. Bedanya mungkin dia mengambil jurusan Hukum mengikuti jejak ayahnya, dan aku sendiri lebih suka berkutat dengan desain. Tak selang berapa lama, Armin menghampiriku.
"Eh, ngapain kamu nyasar ke sini?" tanyanya sambil meraih botol mineral dari tanganku.
"Nggak tahu nih, Min. Aku galau. Temen-temen semua pada pergi sama pacarannya," ringkasku jutek.
Aku sadar, hanya kepada Armin saja aku bisa bebas bercerita dan mengungkapkan semua isi pikiranku. Meneguk habis air mineral di botolku, ia menyodorkan kembali dalam kondisi kosong. Mengacak-acak rambutku kemudian berlari lagi ke tengah lapangan, tanpa berucap sepatah katapun.
Begitulah dia, sok cuek di depan teman-temannya. Tetapi aku yakin, sebentar lagi ia akan segera pamit dari lapangan dan menggandengku pergi untuk menghiburku.
Kulirik jam, 5 menit... 10 menit... 15 menit berlalu. Kulihat sepatu Armin di depanku. Dan benar, ia menggamit lenganku, meraih tasnya dan membawaku pergi. Aku tersenyum kecil. Yang tak kusadari seperti obat yang menyembuhkan gundah di hatiku.
"Ke mana kita?" tanyaku berubah mimik menjadi ceria.
"Hmmm... aku ingin mengajak kamu minum jus aja, tapi sebelumnya mampir dulu ke suatu tempat ya," katanya.
Aku mengiyakan saja ajakannya dan merasa lega karena menghabiskan hari ini tak sendirian saja.
Tak berapa lama, kami sampai di sebuah rumah kos tak jauh dari kompleks kampus. Seorang gadis manis bermata bulat telah menunggu di dalam pagar dengan membawa sebuah barang. Armin memintaku menunggu sejenak di motor, lalu berlari kecil menghampiri si gadis. Kulihat ia tersenyum-senyum malu dan berbicara sejenak. Beberapa detik kemudian, ia menunjukku dari kejauhan dan masih tersenyum-senyum saja.
Ahh... seharusnya aku tahu. Gadis seperti itulah yang didambakan oleh Armin, sahabatku. Dan memang sepantasnya aku mencari pacar, bukan malah jadi benalu di saat kesepian kepada sahabatku sendiri.
Aku pun terdiam saat Armin kembali ke motor. Menanggapinya seadanya saja sekalipun ia berusaha mengajakku bercanda dan melakukan hal-hal konyol. Armin yang sabar itu kemudian menghabiskan jusnya dan mengantarku pulang.
Sesampainya di rumah, ia hendak beranjak masuk mengantarkan aku. "Sampai sini saja Min. Lagian di rumah nggak ada orang. Nggak enak sama tetangga," kataku.
"Ah kayak sama siapa aja sih Nggi?" ia mengernyitkan dahi. Tetapi, melihatku diam menghadangnya di depan pagar ia seperti langsung tahu apa yang ada di benakku. Ia sekali lagi mengacak-acak rambutku dan kemudian menyetater motornya pergi.
Singkat kata, aku kecewa. Aku... Aku cemburu.
***
29 Mei. Kulihat lingkaran besar dengan coretan spidol merah di kalenderku. Ah iya, itu ulang tahun Armin. Tetapi, kali ini kayaknya tidak bisa seperti tahun-tahun sebelumnya. Biasanya, aku akan merayakannya di atap rumah Armin sampai pagi menemaninya. Kali ini, mungkin si gadis manis bermata bulat itu yang akan ada di sana. Desahku menghela nafas panjang.
Aku enggan pergi ke mana-mana hari ini. Enggan menyiapkan kado untuk Armin. Enggan menyiapkan kado kejutan untuknya. Lebih baik menelepon teman-teman, siapa tahu ada yang juga sedang bete dengan pacarnya dan bisa kuculik pergi.
Belum sempat memencet tombol di ponsel, ada seseorang yang mengetuk kamarku.
Hmm... tidak biasanya ada yang mengetuk kamar saat hendak masuk. "Siapa sih? masuk aja, nggak dikunci!" teriakku.
Aku terkejut saat si gadis manis bermata bulat itu masuk dengan membawa sebuah koper.
"Eh, mbak. Nggak salah rumah yah? Mbak yang waktu itu temennya Armin kan? Trus ngapain ke sini?" aku memberondongnya dengan aneka pertanyaan yang dijawab hanya dengan sebuah simpul senyum.
"Kenalin, Ike. Temennya Armin. Aku dikirim ke sini buat makeover kamu," jelasnya.
Seperti biasa, aku tidak mengerti. Dan aku memintanya mengulang penjelasan hingga tiga kali sampai aku benar-benar paham ini bukan mimpi, dan ini adalah kenyataan yang sedang menamparku.
Jadi, Ike adalah teman Armin yang diminta memakeover aku. Mendandaniku layaknya seorang gadis manis, dan sudah dibawakannya dress manis untukku lengkap dengan aksesoris dan sepatu. Aku tak mengerti bagaimana dia bisa tahu persis ukuranku.
Tanpa memakan waktu lama, ia memintaku berbenah diri di kamar mandi, kemudian langsung merapikan rambut, memulas makeup, serta memintaku memakai dress itu. Aku bercermin. Aku seperti tak mengenali diriku. Aku... eh, aku cantik juga ya.
"Dibayar berapa mbak disuruh Armin beginian?" tawaku keras.
Mendadak wajah Armin sudah muncul di kamarku, sambil memakai baju rapi. "Yuk, waktunya pergi, princess..." tangannya diulurkan kepadaku.
Bagaikan mimpi, bagaikan drama Korea di televisi. Apakah ini mimpi? Aku segera beranjak dari kursi di kamarku, berjalan menuju Armin bukan meraih tangannya, tetapi menampar pipinya. Agak keras. "Eh, kok malah ditampar sih? Nggak romantis ah," Armin marah. Aku terkekeh. "Oh, iya maaf. Kirain ini mimpi, ternyata bukan ya? Terus ini ngapain sih pakai beginian? Bukannya ini hari ulang tahunmu?"
"Iya. Ini ulang tahunku, dan bukannya dikasih ucapan selamat malah ditampar," katanya sambil mengelus pipi.
"Hahaha... iya maaf. Swear deh, kirain this is a joke," kataku garing.
Kulihat Ike sudah beringsut pergi. "Eh, itu cewek kamu pergi tuh. Nggak disusul?"
"Cewek siapa? Ike? itu temen aku. Spesial aku sewa buat makeover kamu."
"Hmmm... iya . Jadi buat apa sih makeover ini?"
Mendadak Armin berlutut, "aku tahu ini kesannya kayak dibuat-buat mirip drama Korea. Tetapi ini kenyataan, dan menurutku ini adalah hal paling romantis yang bisa kulakukan buat kamu. Anggi, aku pikir-pikir, kita lebih cocok pacaran aja deh... eh, sebentar... kalau bisa jawabnya jangan lama-lama yah. Berlutut kayak di film itu capek ternyata..."
Aku terbahak lagi menggamit lengan Armin dan membuatnya berdiri. "Udahan ah, jangan berlutut lagi," aku masih tertawa.
"Oh, jadi... aku ditolak nih?"
"Nggak... nggak kok. Kamu diterima. Tapi, nggak perlu pakai berlutut yah, kita udah kelihatan konyol banget. Dan... terima kasih kamu udah mewujudkan khayalanku ditembak cowok ala romantis drama Korea,"
"Ya udah, kalau gitu, makeupnya dihapus aja yah. Kamu ganti baju pakai jeans sama t-shirt, kita pergi dating,"
"Yah, kenapa kok diganti sih? Katanya disuruh makeover..." rajukku.
"Iya, kamu cantik kok kalau dandan. Tapi, aku lebih suka lihat kamu yang manja tapi sok mandiri dan sok kuat seperti biasanya. Itulah kamu, Nggi. Nggak perlu berusaha jadi seperti orang lain. Buatku, kesimplean kamu dan apa adanya kamu itu bikin aku jatuh cinta..."
Sejenak perkataan Armin, sahabat sekaligus kekasihku membuatku terhenyak. Ternyata seperti itu ya selama ini aku bersikap.
Seketika aku menyadari bahwa aku terlalu larut dalam harapan-harapan dan khayalan. Serta keromantisan muluk-mulul bak di film. Padahal, yang namanya romantis itu sederhana. Romantis adalah bisa mencintai dan dicintai oleh kekasih, sekaligus sahabatmu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar